Skip to main content

Cerpen: Gadis Pembawa Baki (Paskibra)

Cerpen: Gadis Pembawa Baki (Paskibra)

Hujan deras mengguyur jendela kelas. Di sudut ruangan, Tiwi duduk termenung, menatap tetesan hujan yang mengalir di kaca. Usianya baru 15 tahun, namun dalam dadanya berkobar semangat yang besar. Ia ingin menjadi bagian dari pasukan Paskibra di hari peringatan kemerdekaan sekolahnya. Namun, sebuah halangan besar menghadang: tinggi badannya yang pendek.

Tiwi tidak tinggi seperti teman-teman sekelasnya. Ia merasa putus asa, terutama setelah mendengar teman-teman sekelasnya berbicara antusias tentang persiapan audisi Paskibra.

Sepulang dari sekolah Tiwi tampak lesu, audisi hanya tinggal menghitung hari tapi ia belum mengambil keputusan apakah ikut atau tidak.

Ibunya mencoba meyakinkannya bahwa tinggi bukanlah segalanya, tetapi Tiwi tetap merasa rendah diri.

"Santai, Nak.. Kalau mau tinggi, naik aja keatas genteng." Jawab Bu Nursini sambil memarut kelapa.

"Mak, aku tuh serius mau tinggi biar jadi pembawa baki di Paskibra." Jawab Tiwi.

"Kalau begitu.. Nih baki, bawa aja." Ucap Emaknya.

"Hihi, Emak ngelawak.." Jawab Tiwi.

Tiwi pun tersenyum dan kemudian beranjak ke kamarnya memeluk boneka Doraemon kesayangannya.

"Dora, Gimana nih, sebaiknya aku ikut audisi atau tidak?" Tanya Tiwi pada boneka Doraemon.

"Dora, please sulap aku menjadi tinggi dengan kantong ajaibmu!" Ucap Tiwi lagi pada Dora.

Namun Dora tak menjawabnya karena dia hanyalah sebuah boneka dan setelah puas curhat dengan Dora akhirnya Tiwi pun tertidur berbantalkan boneka itu.

Dalam tidurnya Tiwi bermimpi Dora berubah menjadi hidup dan membesar seperti tubuh manusia. Pada resleting kain penutup tubuh Dora perlahan terbuka dengan sendirinya hingga kain penutup itu terlepas ke lantai lalu muncul laki-laki tampan bercahaya dengan senyuman menawan.

"Kak Ajaey?" Ucap Tiwi dalam mimpinya itu kaget melihat laki-laki itu.

"Kak Ajaey?" Ulang Tiwi, namun kali ini Tiwi mengucapkannya dalam keadaan terbangun.

Tiwi merenung. "Hmm.. Dia siapa ya, aku belum pernah melihatnya dimanapun, mengapa aku memanggilnya dengan sebutan itu, apakah itu memang nama dia." Ucap Tiwi membatin setelah terbangun.

"Hmm.. siapapun dia, apakah dia hantu ataukah hanya bunga mimpi, namun yang pasti senyumannya itu lho bikin semangat."

"Gemes.. gemes..!!" Ucap Tiwi kemudian merasa gemas mengingat laki-laki tampan dalam mimpinya itu.

Meskipun laki-laki dalam mimpinya itu tidak mengucapkan sepatah katapun tapi senyumannya membuat Tiwi bersemangat dan membuat Tiwi yakin untuk memutuskan ikut audisi paskibra.


***

Hari audisi tiba. Tiwi berdiri di depan cermin, membenarkan seragam putihnya. Tatapannya bercampur antara semangat dan keraguan. Ketika ia tiba di lapangan, suasana semakin membuatnya cemas. Para peserta yang sebagian besar lebih tinggi darinya tampak percaya diri dan berwibawa. Hati Tiwi berdegup kencang, tetapi dia tetap berusaha menahan semangatnya.

Guru Paskibra, Pak Tanza, memulai seleksi dengan memberikan tugas-tugas fisik yang menantang. Tiwi berusaha sekeras mungkin meskipun sulit bagi dirinya untuk mengejar pesaing-pesaingnya yang lebih tinggi dan berpostur ideal. Namun, tekadnya lebih besar dari keterbatasan fisiknya.

"Oke laki-lakinya ada Satria, Agus, Herman dan Khanif. Pembawa bakinya ada Lia dan Tiwi." Ucap Pak Tanza.

"Yang pertama Lia dulu baru habis itu Tiwi." Ucap Pak Tanza lagi.

Lia pun maju membawa baki, namun entah kenapa Agus dan Satria malah rebutan membantu Lia membawa baki tersebut.

"Stop.. stop.. gak usah dibantuin?!" Ucap Pak Tanza sambil meniup pluit.

"Maaf Pak, kalau melihat cewek cantik bawaannya pengen ngebantuin aja, Pak." Jawab Satria dan Agus.

"Ulangi!" Ucap Pak Tanza.

Lia pun mengulanginya dan sesampainya di dekat tiang bendera seharusnya Herman mengambil bendera dari atas baki tapi entah kenapa Herman malah meraih tangan Lia dan menggengamnya.

Lagi-lagi Pak Tanza harus meniup pluit.
"Benderanya Man yang diambil, bukan tangannya."

"Maaf, Maaf Pak, terbawa perasaan nih." Jawab Herman ngeles.

"Ulangi!" Ucap Pak Tanza.

Herman pun kembali meraih tangan Lia dan menggenggamnya, yang berujung membuat Pak Tanza jadi istigfar.

"Astagfirullohalazim." Ucap Pak Tanza.

"Saya kira disuruh ulangi menggengam tangan Lia, Pak." Ucap Herman lagi-lagi memberikan jawaban ngeles.

"Ini dinilai lho, bisa-bisa kalian tidak lulus nanti." Ucap Pak Tanza memperingatkan.

"Baik, Pak!" Ucap Herman menunduk.

"Ayo-ayo ulangi, yang serius!" Ucap Pak Tanza.

Sesi latihan untuk Lia pun selesai dan kini giliran Tiwi.

"Ayo Tiwi, sekarang giliran kamu." Ucap Pak Tanza.

Tiwi pun maju mendekat ke tiang bendera dan Herman mengambil bendera dari atas baki yang dibawa Tiwi, dan Agus mengurus tali bendera namun entah kenapa tali itu membelit ke leher Tiwi, dan Agus yang sedari tadi kesulitan mengikatkan bendera ke tali tanpa sengaja mengencangkan tali tersebut hingga akhirnya Tiwi tercekik tali.

"Aduh.. aduh.." Ucap Tiwi kesakitan.

"Gus, Gus, stop.. Tiwi, terbelit tali." Ucap Pak Tanza.

Agus terlalu fokus menunduk saat mengikatkan bendera ke tali sehingga tidak melihat Tiwi terbelit.

Sementara itu Herman dan Satria tak sanggup menahan tawa hingga akhirnya mereka tertawa mengakak.

"Harusnya setelah benderanya diambil dari atas baki habis itu mundur lagi biar tidak terbelit tali." Ucap Pak Tanza memperingatkan.

Tiwi pun mundur beberapa langkah sambil mengusap-usap lehernya, meskipun tidak terlalu sakit tapi malunya itu hampir membuat Tiwi putus asa, kalau saja ia tak memiliki tekad yang kuat mungkin sejak tadi dia sudah mengundurkan diri.

"Oke latihan selanjutnya, mengambil dan menyerahkan bendera kepada inspektur upacara." Ucap Pak Tanza.

"Seperti biasa dimulai dari Lia dulu. Silakan Lia!" Ucap Pak Tanza.

Lia pun maju sambil membawa baki selangkah demi selangkah menaiki anak tangga namun tiba-tiba Khanif menggodanya.

"Ciee Miss Universe naik tangga." Celetuk Khanif yang sontak membuat Lia salah langkah, yang seharusnya melangkahkan satu kaki saja tapi Lia malah melangkahkan kakinya bergantian.

"Nif diam, jangan goda temannya!" Ucap Pak Tanza.

"Giliran saya kapan nih Pak, capek nungguin!" Ucap Khanif.

"Sabar-sabar habis ini giliran kamu, makanya diam biar cepat selesai!" Ucap Pak Tanza dan Khanif pun diam.

"Ulangi Lia, konsentrasi!" Ucap Pak Tanza.

Namun lagi-lagi Lia mengulangi kesalahan, meskipun Khanif tidak lagi menggodanya dan semua peserta lain juga diam tapi Lia malah tertawa sendirian.

Kesal karena tak berhasil menyelesaikan tugas, Lia menyalahkan Khanif.

"Gara-gara elu nih.." Ucap Lia sambil ancang-ancang ingin menimpuk Khanif pakai baki.

"Lha, kok gue yang disalahin." Jawab Khanif spontan berusaha menangkis kalau seumpama baki itu benar-benar mendarat di tubuhnya.

"Ya sudah, Lia istirahat saja dulu, sekarang giliran Tiwi, ayo Tiwi maju!" Ucap Pak Tanza.

Tiwi maju dengan tenang menaiki anak tangga satu persatu dengan langkah pasti, meskipun Khanif menggodanya dengan mengatakan: "Widih tentara!" tapi Tiwi tetap fokus dan mampu menyelesaikannya dengan sempurna.

"Oke, pada sesi ini selesai. Sekarang giliran Khanif." Ucap Pak Tanza.

"Ayo Khanif silakan pimpin teman-temannya membawakan lagu Indonesia Raya." Ucap Pak Tanza.

Khanif pun maju kedepan barisan dan langsung berteriak.

"Tegak senjataaaa.. grak!"

"Woy.. woy.. bukan itu.. tugas kamu cuma memimpin bernyanyi. Ulangi!" Ucap Pak Tanza.

"Tapi aku maunya yang itu, Pak.." Jawab Khanif.

"Nda bisa, tugas kamu cuma bernyanyi." Ucap Pak Tanza.

"Iya deh, Pak." Jawab Khanif.

Khanif pun memimpin teman-temannya menyanyikan lagu Indonesia Raya tapi dari sekian banyak siswa yang terdengar suaranya hanya beberapa orang saja sementara yang lainnya sepertinya cuma ikut mangap doang.

Pak Tanza kemudian menyelidikinya dengan berdiri di sebelah Fanny dan benar meskipun Fanny terlihat seperti ikut bernyanyi tapi suaranya tidak terdengar. Begitu juga ketika Pak Tanza berdiri di sebelah Prastika, Gusty, Tya, Nita, Dahlan, Rahman, Herlambang.

"Stop.. stop.." Perintah Pak Tanza.

"Coba khusus kalian berdelapan: Fanny, Prastika, Gusty, Tya, Nita, Dahlan, Rahman, dan Herlambang. Coba Kalian bernyanyi." Perintah Pak Tanza.

"Maaf Pak, sebenarnya kami belum hapal." Jawab mereka.

"Mereka hapalnya cuma lagu KPop doang, Pak." Adu Khanif.

"Huuu.. huu.. " Protes mereka menyoraki Khanif, tidak setuju di tuduh oleh Khanif seperti itu.

"Ya sudah, nanti di hapal ya, besok kita lanjut lagi latihannya, untuk hari ini sampai disini dulu." Ucap Pak Tanza.


***

Hari berikutnya peserta diminta untuk mengulanginya lagi sampai sempurna. Tiwi mencoba menirukan langkah-langkah yang telah dia pelajari selama beberapa hari ini, tetapi rasa canggungnya masih terlihat jelas. Pak Tanza menghampirinya dengan senyuman lembut dan berkata, "Tiwi, jangan takut untuk menunjukkan semangatmu."

Kata-kata Pak Tanza memberikan semangat baru bagi Tiwi. Pada sesi wawancara, ia berbicara dengan tulus tentang cinta dan rasa bangganya kepada tanah air. Meskipun tubuhnya tidak tinggi, semangatnya yang membara berhasil menarik perhatian para juri. Mereka melihat betapa besar tekad Tiwi untuk berkontribusi dalam perayaan kemerdekaan.

Waktu pengumuman tiba, jantung Tiwi berdetak kencang. Pengeras suara terdengar.

"Para anggota Paskibra yang terpilih adalah..."

Tiwi dan Lia menutup matanya dan menengadahkan tangan dalam doa.

Kemudian, suara itu melanjutkan, "Tiwi, kamu adalah salah satu anggota utama yang terpilih dan Lia sebagai cadangan!"

Tiwi merasa seperti melayang di atas awan. Air mata bahagia mengalir di pipinya saat ia menyadari bahwa impian yang begitu kuat dan tekadnya yang tak pernah pudar akhirnya membawanya ke dalam barisan Paskibra. Teman-teman sekelasnya mengerumuni Tiwi dengan senyum dan pelukan. Mereka tahu betapa berartinya momen ini baginya.

Selama latihan intensif, Tiwi bersungguh-sungguh membuktikan bahwa semangat dan kerja keras lebih penting daripada tinggi badan. Meskipun sempat merasa takut dan ragu, ia berhasil membuktikan bahwa dia mampu menjadi bagian tak tergantikan dari pasukan Paskibra sekolahnya. Keberhasilannya juga menginspirasi teman-teman lain untuk melihat di luar batasan fisik dan menggapai impian mereka.

Pada hari peringatan kemerdekaan sekolah, Tiwi berdiri tegap di barisan Paskibra. Meskipun mungkin posturnya tidak ideal, namun semangatnya yang membara menginspirasi semua orang yang melihatnya. Kehadirannya mengingatkan kita bahwa impian dan tekad adalah alat yang lebih kuat daripada segala keterbatasan yang mungkin kita miliki.

"Berkibarlah bendera negeriku, Berkibarlah engkau di dadaku, Tunjukanlah kepada dunia semangatmu yang panas membara, Daku ingin jiwa raga ini selaraskan keanggunan, Daku ingin jemariku ini menuliskan karismamu."

Tamat!

Comments

  1. Hebat juga yee si Tiwi cuma modal ngelihat si Enjay dalam mimpi bisa langsung jadi paskibra.😁😁


    Apah mungkin arwah si Enjay masuk keraga Tiwi.😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kan sudah latihan huu dan diseleksi sama Pak Tanza dan dia yg terpilih 😂

      Gada arwah huu, setelah bangun tidur.. semuanya berjalan normal seperti biasa, si Enjay cuma titik penyebab bertambahnya keyakinan Tiwi 😂

      Delete
  2. dulu, ikut paskibra jadi impian semua siswa, terutama SMA.....
    mantap ceritanya....

    ReplyDelete

Post a Comment