Skip to main content

Ternyata banyak orangtua tidak siap menjadi orangtua


Saya duduk bersila menatap pembicara yang sedang bercerita di sebuah aula di sebuah pondok pesantren. Saya menoleh ke belakang. Semua peserta lain wanita, sedang menyimak dengan serius. Si pembicara seorang ibu, pendidik, terapis, pembicara, penulis, pemilik sekolah, tengah memberi paparan tentang bagaimana 'Mendidik Dengan Cinta'.

Sebuah paparan yang menarik.

Si pembicara bercerita tentang kebiasaannya berbaur dengan murid-muridnya saat jam istirahat. Ia memberi nasehat: "Bapak ibu guru jangan malah makan sendiri dengan sesama guru," ujarnya. "Berkumpul dan berbaurlah dengan para siswa. Dengarkan celoteh mereka, gurauan mereka. Tapi jangan tegur atau hakimi. Dengarkan saja."

Nasehat yang bagus.

Saat si ibu sedang berbincang dengan siswa yang sedang makan, tiba-tiba seorang siswa lain melintas dengan cepat di sampingnya, mengejar seekor kucing.

Si kucing ketakutan dan bersembunyi di bawah meja.

Si anak merangsek ke bawah meja dan menangkap si kucing yang ketakutan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu dengan sekuat tenaga si anak menghempaskan si kucing ke lantai tanpa ampun. "BUKKK!"

Si ibu guru terkesiap; si kucing mengeong kesakitan, "MEONG!"

Si anak menyeringai, matanya berkilat. Ia kembali menangkap si kucing yang kini gemetaran. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi dan kembali membanting si kucing ke lantai tanpa ampun. "BUKKK!"
"MEONG!

Wajah si anak merah padam.

Saat si anak menangkap dan membanting si kucing untuk yang ke-tiga kalinya, si ibu guru mendekat, berjongkok di samping si anak dan memegang tangan si anak.
"Kenapa kamu, Nak?" Si ibu bertanya, tidak membentak.
"AUHHH!," jerit si anak. "Sakit, Bu!"

Wajah si anak penuh amarah.

Si ibu kaget, lalu membalik telapak tangan si anak. Si ibu menjerit lirih. Di sekujur telapak tangan si anak dipenuhi bintil-bintil kemerahan. Si ibu membalik telapak tangan satunya. Sama. Seluruh telapak tangan si anak dipenuhi bintil-bintil kemerahan.

Si ibu menelan ludah, menatap wajah si anak yang kini tegang. Nafasnya memburu, badannya kaku.
"Sakit?," tanya si ibu guru lemah lembut.
Si anak mengangguk.

Si ibu berusaha memeluk si anak. Si anak berontak.
"Kamu marah?," tanya si ibu sembari menepuk bahu si anak lembut.
Si anak mengangguk. Kemarahannya berangsur reda.
"Kamu kesal?"
Kembali si anak mengangguk.

Perlahan, sambil sesekali menepuk bahu si anak, si ibu terus berjongkok. Hati sejajar, detak jantung seirama. Si ibu bertanya lembut, mengorek dengan penuh empati, apa yang telah terjadi?

Ternyata kemarin si anak, yang masih duduk di bangku kelas Satu SD, telah dihukum ibunya karena kenakalannya. Kedua telapak tangan si anak dihajar tusukan jarum pentul jilbab sang ibu!

Ihhh...

Bintil-bintil kemerahan di sekujur telapak tangan si anak yang masih imut dan mungil adalah wujud kekesalan dan kebodohan seorang ibu yang frustrasi.

Beberapa peserta tersedu, beberapa peserta menyeka air mata.

Ternyata banyak orangtua tidak siap menjadi orangtua. Ternyata banyak orangtua langsung marah melihat anaknya berbuat kesalahan. Ternyata banyak orangtua langsung habis kesabaran dan menghukum tanpa ampun. Ternyata banyak orangtua lupa anak adalah harta yang paling berharga.

Ternyata banyak orangtua...
Ternyata banyak orangtua...
Ternyata banyak orangtua...

Dan tinggal si anak yang barusan dihajar habis-habisan, menggigil dalam kebingungan dan kesendirian.

Apa salahku?
Mengapa aku dihajar?
Mengapa tanganku ditusuki jarum?
Diam-diam dendam menyelinap, membakar hati dan ubun-ubun. Tapi ia tak bisa melampiaskan kemarahan ke ibunya atau orangtuanya. Tapi ia bisa melampiaskan kekesalannya, dendamnya, ke arah seekor kucing yang barusan melintas di depannya tanpa permisi.
Kurang ajar!

Di balik kemarahan dan kenakalan seorang anak, ada orangtua yang harus bertanggung jawab.

Anak-anak yang marah, anak-anak yang menjerit, anak-anak yang memaki, anak-anak yang kurang ajar, anak-anak yang mem'bully', anak-anak yang melakukan persekusi - adalah anak-anak yang tidak hepi, anak-anak yang sakit hati, anak-anak yang menderita.

Kasihanilah mereka.

Demikian pula orang dewasa yang marah-marah, orang dewasa yang menjerit, orang dewasa yang memaki, orang dewasa yang kurang ajar, orang dewasa yang mem'bully', orang dewasa yang melakukan persekusi - adalah orang dewasa yang tidak hepi, orang dewasa yang sakit hati, orang dewasa yang menderita.

Kasihanilah mereka.
Sumber: Facebook

Comments

  1. Iyah, banyak ortu yang berpikir bahwa hanya dengan cara menyakiti anak bisa diajari. Padahal, sebenanrya banyak cara yang lain, cuma karena mereka malas saja untuk belajar menemukan jalan tersebut

    ReplyDelete

Post a Comment